Analisis Penerapan Profit Split Method dalam Peraturan Perpajakan di Indonesia

December 19, 2019 at 12:43 pm Leave a comment

Oleh:

Jonathan Mathias Sibarani

Masyita Nimas Palupi

Andreas Rossi Dewantara

 Abstrak: Penggunaan Profit Split Method dalam penetapan harga transfer dapat memberikan kepastian dan kelancaran dalam penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha bagi pihak afiliasi yang memiliki kondisi usaha yang sangat terintegrasi, atau di mana kedua belah pihak memberikan kontribusi yang unik dan berharga. Dalam perkembangannya, PSM juga dipertimbangkan sebagai metode yang paling sesuai untuk digunakan dalam kondisi di mana para pihak yang bertransaksi saling berbagi asumsi risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi atau secara terpisah menanggung risiko bisnis yang saling berkaitan. PSM memiliki kelebihan karena menawarkan hasil pengukuran yang “fair” karena semua pihak diuji dan “reasonable” karena mempertimbangkan seluruh fakta dan keadaan yang khusus dan unik dari pihak-pihak yang terafiliasi. Namun demikian tidak dipungkiri bahwa PSM memiliki sejumlah kekurangan yang terpusat pada kesulitan untuk membagi laba yang disebabkan banyak faktor. Terlepas dari berbagai kekurangan PSM, peraturan domestik terkait PSM yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi Antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-22/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa tetap perlu untuk disempurnakan sehingga mengakomodasi perkembangan terbaru terkait PSM yaitu bahwa PSM dapat diterapkan dalam kondisi di mana para pihak yang bertransaksi saling berbagi asumsi risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi atau secara terpisah menanggung risiko bisnis yang saling berkaitan. Selain juga perlu penyempurnaan untuk memberikan panduan terkait relevant profit yang digunakan di dalam kedua peraturan tersebut.

  1. Introduction

1.1.       Background

Manipulasi harga transfer adalah salah satu teknik penghindaran pajak yang paling umum. Hal ini terutama berlaku di ranah internasional, karena terdapat perbedaan besar dalam tarif pajak efektif di antara yurisdiksi. Memang, beberapa ekonom berpendapat bahwa kemampuan untuk memanipulasi harga transfer adalah alasan utama bagi keberadaan perusahaan multi-nasional, yang merupakan kelompok perusahaan afiliasi yang beroperasi di lebih dari satu negara[1]. Diperkirakan perdagangan di antara afiliasi tersebut mencakup sekitar sepertiga dari perdagangan manufaktur dunia, dan persentase itu terus meningkat.[2] Karena itu, masalah penetapan harga transfer merupakan salah satu tantangan kebijakan pajak internasional utama masa kini.

Oleh karena itu, arm’s length principle (ALP) menjadi tolok ukur yang signifikan dalam masalah penetapan harga transfer. Apabila terdapat kondisi-kondisi yang dibuat atau diberlakukan di antara perusahaan-perusahaan afiliasi dalam hubungan dagang atau hubungan keuangan mereka yang berbeda dengan kondisi-kondisi yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan independen, maka atas laba yang seharusnya diakui, namun karena adanya kondisi-kondisi tadi menjadi tidak diakui, dapat ditambahkan pada laba perusahaan tersebut dan dikenakan pajak.[3]

Aturan penetapan harga transfer dengan demikian adalah untuk menempatkan Wajib Pajak yang terafiliasi/dikendalikan pada posisi yang sama dengan Wajib Pajak yang independen. Akibatnya, setiap ukuran seperti “fair” atau “reasonable” harus didefinisikan dalam kerangka kerja sebagaimana antara Wajib Pajak independen. Artinya, hanya karena suatu harga dapat dianggap “adil” atau “masuk akal” dari perspektif perusahaan afiliasi, tidak berarti bahwa perusahaan independen akan bersedia melakukan transaksi tersebut (would have entered into the transaction). Masalahnya, seperti yang sering ditunjukkan oleh Wajib Pajak, adalah bahwa apabila tidak ada pembanding, tidak jelas bagaimana harga yang wajar harus “dihipotesiskan.”[4]

Masalah lainnya dalam penetapan harga transfer adalah kecenderungan metode one-sided yang mengisolasi satu pihak dalam hubungan istimewa sebagai “pihak yang diuji” (tested party), sedangkan pihak afiliasi yang lain sebagai “pihak yang tidak diuji” (untested party). Rasionalisasinya adalah jika tested party memiliki laba yang telah memenuhi ALP, maka berdasarkan logika matematika, laba dari untested party juga memenuhi standar ini meskipun tetap belum teruji. Jadi, untested party dianggap berhak atas semua laba residual (yaitu, laba gabungan dikurangi laba rutin yang dialokasikan ke pihak yang diuji). Metodologi penetapan harga transfer ini dapat berfungsi apabila memang hanya ada laba rutin yang akan dibagi. Namun, apabila ada laba residual, metodologi penetapan harga transfer satu sisi tidak dapat menjelaskan mengapa laba residual adalah hak satu pihak tertentu saja, dan bahwa untested party adalah pihak yang berhak atas laba residual ini tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Dalam konteks base erosion di mana terdapat lebih dari sekadar laba rutin gabungan, terdapat risiko bahwa MNE melakukan framing bahwa perusahaan mereka di suatu negara sebagai “pihak yang diuji” yang otomatis berhak atas margin keuntungan rutin, dan menetapkan afiliasinya di low-tax jurisdiction sebagai pihak yang lebih kompleks, yang berhak menjadi untested party atas semua laba residual.[5]

Berbeda dari metode one-sided, metodologi penetapan harga transfer two-sided seperti Profit Split Method mengevaluasi pendapatan afiliasi secara keseluruhan dan menentukan bagaimana mengalokasikan laba gabungan di antara mereka, dengan semua pihak diperlakukan sebagai pihak yang diuji. Laba residual dibagi antara pihak afiliasi yang saling berkontribusi pada value creation, berbeda dengan hasil “all or nothing” yang terjadi pada kasus-kasus dengan metode one-sided.

Penggunaan metodologi penetapan harga transfer two-sided mensyaratkan bahwa alokasi laba untuk anak perusahaan yang terletak di low-tax jurisdiction harus terlebih dahulu dapat dibuktikan secara afirmatif bahwa kegiatan anak perusahaan tersebut memberikan kontribusi yang signifikan terhadap value creation dan laba residual terkait. Wajib Pajak memiliki beban pembuktian untuk menunjukkan bahwa alokasi laba residualnya mengikuti fungsi-fungsi substantif yang menciptakan laba residual MNE. Jika wajib pajak tidak dapat menjelaskan bagaimana kegiatan di low-tax jurisdiction secara fungsional berkontribusi pada penciptaan laba residual, ia akan menerima alokasi nol. Karena alokasi laba mengikuti fungsi-fungsi yang menciptakan laba tersebut, tidak ada alokasi untuk homeless income seperti dalam metode one-sided[6].

Mengingat pentingnya penerapan profit split dalam kaitannya dengan pencegahan penghindaran pajak di Indonesia, maka tulisan ini akan membahas mengenai pengaturan Profit Split Method di dalam ketentuan perpajakan di Indonesia.

1.2.       Research Question

Bagaimana penerapan Profit Split Method diatur dalam ketentuan perpajakan di Indonesia?

1.3.       Objective

Penulis dan pembaca dapat menerapkan Profit Split Method dan untuk penyempurnaan peraturan bagi pembuat kebijakan.

1.4.       Scope and Limitation

Tulisan ini terbatas pada penerapan Profit Split Method dalam penentuan harga transfer dalam kaitannya dengan pencegahan penghindaran pajak di Indonesia.

  1. Theoretical Background

2.1.       ALP

ALP tradisional merujuk terutama pada suatu proses di mana harga transfer antara Wajib Pajak terafiliasi ditentukan dengan menggunakan pembanding di level harga – contohnya apabila salah satu dari produk yang sama yang dijual oleh salah satu pihak terafiliasi ke pihak yang independen, atau produk yang sama yang dibeli oleh pihak afiliasi dari pihak yang independen, atau produk yang sama dijual antara dua pihak yang independen satu sama lain. Metode perbandingan ini biasanya disebut “Comparable Uncontrolled Transaction” atau metode CUP.

Selain itu, ALP tradisional juga mencakup dua metode yang juga mengandalkan pembanding, tetapi tidak memerlukan transaksi atas produk yang sama/sebanding. Di bawah metode “biaya plus” (Cost Plus Method), harga transfer ditentukan dengan membandingkan suatu perusahaan manufaktur dengan entitas serupa yang bertransaksi dengan pihak independen, dan mengalokasikan kepada manufaktur tersebut biaya ditambah margin keuntungan yang sebanding dengan pihak independen. Metode “Resale Price” identik dengan metode biaya plus kecuali berlaku untuk distributor daripada produsen.

ALP, seperti yang dipahami secara tradisional, sering dikontraskan dengan metode “unitary“, “global formulary apportionment“, seperti yang digunakan oleh beberapa negara. Di sini seluruh laba dari suatu grup usaha dialokasikan di antara entitas-entitas penyusunnya melalui formula tertentu (misalnya, berdasarkan pada aset, biaya R&D/marketing, employment, atau penjualan masing-masing entitas).[7] Perbedaan utama antara ALP dan metode formulary adalah bahwa ALP memperlakukan masing-masing entitas dalam grup usaha sebagai Wajib Pajak yang terpisah, yang secara hipotetis berurusan dengan entitas lain dalam grup secara arm’s length. Meskipun ada praktik umum yang membedakan ALP dan metode formulary dalam menangani masalah penetapan harga transfer, mereka sebenarnya tidak dikotomis, melainkan membentuk dua ujung ekstrem dari sebuah kontinum.[8]

Gambar 1.1. Transfer Pricing Continuum

Dalam transfer pricing continuum ini, profit split lebih dekat kepada formulary apportionment daripada metode penetapan harga transfer yang lain. Perbedaannya adalah bahwa sebagian dari laba (relevant profit) dialokasikan berdasarkan comparable, dan bahwa formula yang digunakan untuk membagi laba residual lebih fleksibel daripada formula berbasis aset, employment/payroll, biaya, atau penjualan yang digunakan dalam formulary apportionment.[9]

2.2.       Definisi

Dalam OECD Transfer Pricing Guideline 2017, metode profit split (Profit Split Method/PSM) adalah:

A transactional profit method that identifies the combined profit to be split for the associated enterprises from a controlled transaction (or controlled transactions that it is appropriate to aggregate under the principles of Chapter III) and then splits those profits between the associated enterprises based upon an economically valid basis that approximates the division of profits that would have been anticipated and reflected in an agreement made at arm’s length.”

Gambar 2.1. Ilustrasi Profit Split

Economically valid basis yang dipakai dalam aproksimasi pembagian laba sebagaimana dimaksud di atas adalah:

–          contribution analysis, yaitu pembagian laba berdasarkan nilai relatif dari fungsi yang dilakukan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa; dan

–          residual analysis, di mana laba dibagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, setiap pihak dialokasikan laba sebagai remunerasi atas fungsi rutinnya, yang biasanya mengacu pada tingkat remunerasi perusahaan independen yang sebanding. Pada tahap kedua, sisa laba (atau kerugian) dialokasikan di antara para pihak berdasarkan analisis atas fakta dan kondisi yang mengindikasikan bagaimana laba/rugi residual ini akan dibagi di antara perusahaan independen.

Dalam peraturan, seperti Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-43/PJ/2010 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PER-32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, PSM didefinisikan sebagai:

“…metode Penetapan harga transfer berbasis Laba Transaksional (Transactional Profit Method Based) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dengan menggunakan Metode Kontribusi (Contribution Profit Split Method) atau Metode Sisa Pembagian Laba (Residual Profit Split Method).”[10]

Dalam lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-22/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, PSM didefinisikan sebagai:

“…metode penetapan harga transfer yang membagi laba gabungan kepada pihak afiliasi yang terlibat dalam transaksi afiliasi berdasarkan kontribusi yang diberikan.”[11]

Dengan demikian, tidak ada perbedaan signifikan antara definisi PSM yang ada dalam peraturan domestik Indonesia dengan definisi yang ada pada TPG.

2.3.       Karakteristik PSM dalam Perkembangan Transfer Pricing

  • Internasional

Secara historis, PSM adalah metode penetapan harga transfer yang relatif baru saja diakui dalam TPG maupun peraturan domestik suatu negara. Konsep PSM pertama kali diartikulasikan melalui US Treasury White Paper pada tahun 1988[12], di mana dinyatakan bahwa:

There are, therefore, two types of arm’s length transactions to consider – – one in which the parties remain independent and another in which the two parties make an arm’s length agreement to affiliate by merger, joint venture, acquisition, or simply through the hiring of local labor and capital within a subsidiary. Restricting attention to transactions between parties that remain unrelated can fail to accomplish the objective of allocating to each party its contribution to income, if such transactions do not accurately reflect the actual relations between the related parties[13]

US Treasury White Paper 1988 mengintegrasikan penerapan metode transaksional yang “one-sided” untuk menilai fungsi dan risiko di mana terdapat transaksi pembanding, serta metode “two-sided” untuk transaksi yang tidak memiliki pembanding eksternal yang andal, ke dalam kerangka arm’s length principle.

Dalam sejarah sengketa transfer pricing, kasus landmark yang menunjukkan keberhasilan penggunaan PSM adalah Eli Lilly & Co. v. Commissioner.[14] Eli Lilly & Co. (Lilly) adalah produsen obat-obatan (propoxyphene dan propoxyphene hydrochloride) yang dipatenkan pada tahun 1955, dan secara terus-menerus dikembangkan dan dipasarkan. Lilly Puerto Rico adalah pemegang hak atas paten dan pemilik manufacturing know-how terkait obat-obatan tersebut. Dalam kasus ini terdapat isu mengenai pembagian keuntungan antara pemilik paten dan afiliasi Lilly di AS yang mengembangkan pasar untuk memasarkan obat tersebut.

Pengadilan Pajak AS memperjelas perbedaan antara manufacturing intangible (dalam hal ini paten dan know-how yang dimiliki oleh afiliasi di Puerto Rico) dengan marketing intangible (yang dimiliki dan dikembangkan oleh afiliasi di AS). Pengadilan Pajak menemukan bahwa terdapat marketing intangible yang dimiliki oleh afiliasi AS berupa merek dagang untuk senyawa farmasi tertentu, nama merk Lilly, dan goodwill. Pengadilan Pajak menyatakan bahwa afiliasi di AS menikmati reputasi yang menguntungkan di pasar AS dan telah mengembangkan organisasi pemasaran yang sangat terampil secara mandiri tanpa ada reimbursement oleh Lilly Puerto Rico.

Pengadilan Pajak menemukan bahwa marketing intangible tersebut memiliki nilai signifikan di samping paten yang dimiliki oleh Lilly Puerto Rico, termasuk bahwa kedua bentuk intangible tadi berkontribusi secara signifikan terhadap laba residual grup usaha Lilly. Pengadilan Pajak tidak percaya bahwa penerapan metodologi penetapan harga transfer secara “one-sided” telah appropriate dalam kasus ini karena tidak ada transaksi yang sebanding. Oleh karena itu, Pengadilan Pajak beralih ke metodologi penetapan harga transfer secara “two-sided”.

Dalam menerapkan metode “two-sided”, setiap fungsi yang teridentifikasi diberi alokasi laba. Atas sisa laba residual setelah alokasi laba rutin, pengadilan menyimpulkan bahwa afiliasi distributor di AS harus menerima 45 persen dari laba residual untuk remunerasi atas marketing intangible-nya dan afiliasi Puerto Rico menerima 55 persen sisanya sebagai pemilik manufacturing know-how dan paten.

Penggunaan PSM dalam peraturan domestik kemudian pertama kali diafirmasi dalam perubahan US Treasury Regulation no. 1.482 pada tahun 1994, di mana metode residual profit split dan comparable profit split dituangkan ke dalam peraturan pajak Amerika Serikat[15].

PSM pertama kali dimasukkan ke dalam TPG edisi tahun 1995. Dalam perkembangannya, pada TPG edisi 2010, kedudukan PSM telah ditingkatkan dari sekadar “metode pilihan terakhir” (method of last resort) menjadi setara dengan metode transaksional yang “one-sided” seperti Transactional Net Margin Method (TNMM), dengan premis dasar bahwa pemilihan metode penetapan harga transfer adalah yang paling sesuai tergantung pada fakta dan kondisi transaksi (the most appropriate method). Premis ini tetap berlaku sampai pada iterasi terakhir TPG yaitu edisi 2017.

Pada TPG 2017, PSM dapat menjadi metode yang most appropriate dalam kasus di mana kedua belah pihak dalam suatu transaksi afiliasi memiliki unique and valuable contributions (misalnya intangible). Dalam hal ini, dua pihak independen akan membagi laba sesuai proporsi kontribusi masing-masing, dan oleh karena itu, metode yang “two-sided” lebih andal. Di samping itu, pada kasus di mana kedua belah pihak masing-masing memberikan kontribusi yang unik dan berharga kemungkinan kecil terdapat pembanding yang andal.

Pada Revised Guidance on the Application of Transactional Profit Split yang dikeluarkan OECD pada Juni 2018, terdapat penambahan guidance di mana PSM dapat menjadi metode yang paling sesuai. Di samping kasus di mana tiap pihak memberikan unique and valuable contribution, PSM dapat diterapkan juga pada kasus di mana:

–          operasi bisnis highly integrated sehingga kontribusi dari salah satu pihak tidak bisa dievaluasi secara terpisah dari pihak lain; atau

–          para pihak secara bersama menanggung risiko yang signifikan secara ekonomis (share the assumption of economically significant risks), atau secara terpisah menanggung risiko-risiko yang berhubungan dekat (separately assume closely-related risks).

  • Ketentuan TP Indonesia

Meskipun ketentuan mengenai wewenang Direktur Jenderal Pajak untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan, dan menentukan hutang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya telah muncul dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), referensi mengenai PSM baru muncul secara eksplisit[16] pada perubahan keempat UU PPh (UU no. 36 tahun 2008) di mana pasal 18 ayat (3) berbunyi:

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.”

Di mana dalam penjelasan Pasal 18 ayat (3) dalam UU no. 36 Tahun 2008 disebutkan bahwa metode lainnya adalah “seperti metode pembagian laba (profit split method) dan metode laba bersih transaksional (transactional net margin method)”

Dalam Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan nomor S-153/PJ.4/2010 tentang Panduan Pemeriksaan Kewajaran Transaksi Afiliasi, secara hirarkikal PSM diterapkan apabila terdapat kesulitan dalam menerapkan secara andal metode harga pasar sebanding (Comparable Uncontrolled Price/CUP), metode harga jual minus (Resale Price), atau harga pokok plus (Cost Plus).

Hierarki ini tetap dipertahankan dalam Pasal 11 ayat (3) PER-43/PJ/2010. Dalam perkembangannya, Pasal 11 ayat (1) Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-32/PJ/2011 tentang Perubahan atas PER-43/PJ/2010 menghilangkan konsep hirarki antarmetode penetapan harga transfer dan menggantinya dengan “metode yang paling sesuai” (The Most Appropriate Method).

  1. Pembahasan

3.1.       Penerapan PSM

  • Penerapan PSM dalam UN Practical Manual dan OECD TPG
  1. Unique and valuable contribution by both parties

Dalam UN Practical Manual, PSM diterapkan apabila kedua belah pihak dalam transaksi afiliasi memberikan kontribusi intangible property yang signifikan. Profit kemudian dibagi menurut pembagian seperti halnya dalam joint venture.[17]

OECD TPG dalam hal ini tidak restriktif seperti halnya UN Manual. Kontribusi tidak hanya merupakan significant intangible property, tetapi “fungsi yang dilakukan, atau aset yang digunakan atau dikontribusikan” sepanjang kontribusi tersebut “unik dan berharga”. Kontribusi disebut “unik dan berharga” (unique and valuable contribution) dalam kasus di mana kontribusi tersebut:

(i)       tidak comparable dengan kontribusi yang dibuat oleh pihak yang independen dalam keadaan yang sebanding (unik), dan

(ii)     merepresentasikan sumber utama dari manfaat ekonomi, baik yang aktual maupun potensial dalam operasi bisnis (berharga).

Kedua faktor ini sering terkait. Dalam situasi ini, risiko yang terkait dengan kontribusi masing-masing yang unik dan berharga tidak dapat dikendalikan oleh pihak satunya dalam transaksi afiliasi. Ini dapat memengaruhi asumsi risiko dalam deliniasi akurat dari transaksi aktual.

Contohnya, developer dan manufacturer dari komponen utama suatu produk bersama-sama dengan developer dan manufacturer komponen utama lainnya, bersama-sama memproduksi barang yang siap jual. Dengan demikian, kedua pihak dapat dikatakan memberikan kontribusi yang unik dan berharga dalam hal fungsi dan intangible yang mewakili sumber utama manfaat ekonomi.[18] Pada praktiknya, tidak satu pun dari mereka dapat mengendalikan development risk secara keseluruhan terkait produk. Sebaliknya, mereka bersama-sama mengendalikan development risk dan berbagi dalam relevant profits yang dihasilkan dari kontribusi mereka.

Dalam Contoh 2 Revised Guidelines diilustrasikan sebagai berikut:

A Co, anggota T Group, adalah perusahaan yang tergabung dalam Negara A yang kegiatan utamanya adalah menanam dan memproses teh. A Co mengidentifikasi, membeli, dan mengolah lahan dengan tanah yang sangat bagus untuk menanam teh. A Co telah mengembangkan pengetahuan yang luas dalam hal penanaman teh, termasuk memaksimalkan kualitas yang diinginkan dari teh yang ditanamnya melalui metode penanamannya. Sifat-sifat tanah bersama-sama dengan metode penanaman tersebut memberikan cita rasa teh yang sangat digemari.

A Co memproses teh dengan melakukan kegiatan berikut: menyortir daun, melakukan grading, fermentasi, blending, dan pengemasan untuk ekspor sesuai spesifikasi pesanan pelanggan. Blending memerlukan know-how yang ekstensif dalam mencampur berbagai teh untuk mendapatkan campuran dengan selera unik yang dihargai oleh pelanggan T Group. Teh yang diproduksi oleh A Co telah mendapat pengakuan internasional karena rasa dan aromanya yang unik.

A Co menjual tehnya ke B Co, perusahaan induknya yang berlokasi di Negara B. B Co kemudian mengemas ulang dan memberi merek pada teh untuk dijual di pasar sasaran.

Dengan usahanya sendiri, B Co memiliki dan mengembangkan tradename dan trademark yang unik dan berharga. Branding teh T menonjolkan asal teh dan perpaduan unik yang dikembangkan oleh A Co. B Co melakukan marketing yang ekstensif melalui media elektronik, internet, pameran perdagangan dan publikasi di majalah industri yang membuat lini produknya menjadi pemimpin pasar pada sejumlah wilayah geografis. Teh yang dijual oleh T Group memiliki harga premium.

Gambar 3.X Ilustrasi Unique and valuable contribution

Delineasi transaksi yang akurat dalam kasus khusus ini menentukan bahwa A Co dan B Co memberikan kontribusi yang unik dan berharga sehingga metode penetapan harga transfer yang paling sesuai adalah PSM.

  1. Highly integrated

UN Practical Manual tidak memberikan preskripsi tentang penggunaan PSM dalam kasus operasi yang highly integrated. Di sisi lain, OECD TPG memberikan rekomendasi penggunaan PSM dalam kasus di mana terdapat tingkat integrasi yang tinggi, yang berarti bahwa salah satu pihak dalam transaksi menjalankan fungsi, menggunakan aset, dan menanggung risiko yang saling terkait, dan tidak dapat dievaluasi secara andal apabila terpisah dari fungsi yang dijalankan, aset yang digunakan, serta risiko yang ditanggung oleh pihak lainnya.

Dalam beberapa kasus, para pihak dapat melakukan fungsi secara bersama, menggunakan aset bersama dan/atau berbagi asumsi risiko sedemikian rupa sehingga tidak mungkin untuk mengevaluasi kontribusi masing-masing secara terpisah dari pihak lainnya. Contoh lainnya adalah ketika masing-masing pihak telah memberikan kontribusi yang signifikan (misalnya aset) yang nilainya tergantung kontribusi dari counterpart-nya. Dalam kasus-kasus seperti ini antarpihak independen akan melakukan penetapan harga yang yang tergantung dengan outcome dari risiko yang ditanggung oleh masing-masing pihak.

Di mana kontribusi dari tiap pihak sangatlah saling terkait (interrelated) atau saling tergantung (interdependent) satu sama lain, evaluasi atas kontribusi masing-masing pihak tersebut perlu dilakukan secara holistik. Artinya, tingkat integrasi yang tinggi juga dapat memengaruhi apakah kontribusi oleh semua pihak secara keseluruhan dianggap unik dan berharga. Kontribusi unik oleh satu pihak dapat memiliki nilai yang jauh lebih besar bila dipertimbangkan bersama dengan kontribusi unik tertentu dari pihak lain (misalnya dalam kasus combined intangible).

Dalam Contoh 7 Revised Guideline diilustrasikan sebagai berikut:

Perusahaan L, residen Negara L, dan Perusahaan M, residen Negara M, merupakan bagian dari grup MNE LM Corporation. Perusahaan L dan M menawarkan fasilitas perdagangan internasional (trade facilitation), pengiriman barang, dan layanan perantara bea cukai kepada pelanggan independen.

Bersama-sama, Perusahaan L dan M menyediakan jasa kepada pelanggan termasuk jasa penerimaan barang di negara pengekspor, jasa pengurusan bea cukai di negara pengekspor, pengepakan, pengaturan pengiriman kontainer, pengiriman kontainer ke dan dari kapal, pembongkaran, jasa pengurusan bea cukai di negara pengimpor, dan mengirimkan barang ke tujuan mereka. Pelanggan dapat menjadi importir atau eksportir, dan Perusahaan L dan M memfasilitasi impor dan ekspor dari kedua negara tersebut. Pelanggan biasanya membayar layanan ini berdasarkan kombinasi volume dan berat barang.

Delineasi transaksi yang akurat menentukan bahwa Perusahaan L dan M memberikan jasa trade facilitation yang sama, pengangkutan barang dan jasa pengurusan pabean secara bersama-sama dengan cara yang sangat terintegrasi. Perusahaan L dan M sangat bergantung satu sama lain untuk keberhasilan penyelesaian setiap transaksi dengan pelanggan.

Perusahaan L dan M juga melakukan fungsi marketing dan customer relationship yang serupa, tergantung pada lokasi pelanggan. Perusahaan L dan M bersama-sama menggunakan sistem IT terintegrasi untuk tracking pengiriman barang. Perusahaan L dan M masing-masing melakukan upgrade bertahap pada sistem jika memungkinkan. Value proposition LM Corporation terletak pada harganya yang kompetitif, yang dimungkinkan oleh efisiensi dan skala ekonomis dan cakupannya, dan integrasi yang seamless antarbatas negara.

Gambar 3.X Ilustrasi highly integrated

Perusahaan L dan M bersama-sama melakukan fungsi nilai tambah yang penting dan bersama-sama menggunakan dan berkontribusi pada aset paling penting pada grup usahanya. Operasi mereka sangat terintegrasi dan saling tergantung sehingga tidak mungkin untuk menggunakan metode “one-sided” untuk menentukan harga wajar atas kontribusi masing-masing pihak. Dalam hal ini, PSM akan menjadi metode yang paling tepat.

  1. Shared assumption of economically significant risks, separate assumption of closely related risks

Sama seperti halnya highly integrated, UN Manual tidak memberikan rekomendasi penggunaan PSM dalam kasus pihak-pihak afiliasi mengasumsikan risiko yang signifikan secara ekonomis secara bersama-sama. OECD TPG di sisi lain merekomendasikan PSM dapat menjadi sebagai metode yang paling sesuai apabila menurut delineasi transaksi secara akurat, masing-masing pihak pada transaksi afiliasi berbagi asumsi atas satu atau lebih risiko yang signifikan secara ekonomi terkait transaksi tersebut.[19]

PSM juga dapat menjadi metode yang paling sesuai apabila menurut delineasi transaksi secara akurat, risiko-risiko yang signifikan secara ekonomi terkait transaksi tersebut ditanggung secara terpisah oleh para pihak, tetapi risiko-risiko tersebut saling terkait erat dan/atau berkorelasi sehingga timbulnya risiko tersebut pada masing-masing pihak tidak dapat terlepas dari pihak lainnya.

Relevansi faktor-faktor ini sebagai indikator untuk PSM akan sangat tergantung pada sejauh mana risiko-risiko tersebut dianggap signifikan secara ekonomi. Signifikansi ekonomi dari risiko-risiko tersebut harus dianalisis dalam kaitannya dengan kaitannya dengan keuntungan yang aktual maupun yang diantisipasi dari transaksi afiliasi, alih-alih terkait dengan salah satu dari perusahaan afiliasi tersebut yang operasi bisnisnya mungkin melampaui dari yang dicakup oleh laba yang relevan (whose business operations may extend beyond those covered by the relevant profits).

Jika masing-masing pihak berbagi tanggungan atas risiko yang signifikan secara ekonomi atau secara terpisah menanggung risiko yang saling terkait dan signifikan secara ekonomi, serta PSM dianggap sebagai metode yang paling tepat, ada kemungkinan bahwa laba aktual (bukan laba yang diantisipasi/anticipated profit) lebih tepat untuk dibagi karena mencerminkan aktualisasi dari risiko masing-masing pihak. Pembagian berdasarkan anticipated profit akan cenderung memusatkan perhatian pada risiko yang signifikan secara ekonomi pada satu pihak saja.

Dalam Contoh 10 Revised Guideline diilustrasikan sebagai berikut:

Perusahaan A mendesain, mengembangkan dan memproduksi lini produk industri berteknologi tinggi. Generasi baru dari lini produk menggabungkan komponen kunci yang dikembangkan dan dibuat oleh Perusahaan B, afiliasi dari Perusahaan A. Komponen kunci ini sangat inovatif, memanfaatkan intangible yang unik dan berharga. Inovasi ini merupakan titik perbedaan kunci dari produk generasi baru tersebut. Keberhasilan generasi produk baru sangat tergantung pada kinerja komponen kunci yang dibuat oleh Perusahaan B. Komponen kunci secara khusus dirancang untuk produk generasi baru dan tidak dapat digunakan dalam produk lain.

Komponen kunci tersebut dikembangkan sepenuhnya oleh Perusahaan B. Delineasi transaksi yang akurat menentukan bahwa Perusahaan B melakukan semua fungsi kontrol dan menanggung semua risiko terkait dengan pengembangan komponen, tanpa keterlibatan oleh Perusahaan A.

Gambar 3.X Ilustrasi shared assumptions of risks/separate assumption of closely related risks

Delineasi transaksi yang akurat juga menemukan bahwa Perusahaan A melakukan semua fungsi kontrol dan menanggung semua risiko terkait dengan keseluruhan produksi dan penjualan produk generasi baru yang diproduksinya. Perusahaan A tidak dapat mengendalikan (dan dengan demikian tidak mengasumsikan) risiko yang berkaitan dengan kinerja komponen kunci dari Perusahaan B. Dalam contoh ini, ditentukan bahwa meskipun Perusahaan A dan Perusahaan B masing-masing mengasumsikan risiko ekonomi yang signifikan secara terpisah, risiko-risiko tersebut sangat saling tergantung. Sehingga, ditentukan bahwa PSM adalah metode yang paling tepat.

  • Penerapan PSM dalam Ketentuan Domestik

Dalam Pasal 11 ayat (7) PER-43/2010, disebutkan bahwa PSM secara khusus hanya dapat diterapkan dalam kondisi:

  1. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sangat terkait satu sama lain sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan kajian secara terpisah; atau
  2. terdapat barang tidak berwujud yang unik antara pihak-pihak yang bertransaksi yang menyebabkan kesulitan dalam menemukan data pembanding yang tepat.

Dalam perubahannya, yaitu PER-32/2011, ketentuan ini tidak berubah. SE-50/2015 memberikan ketentuan yang sama, yaitu PSM “digunakan pada kasus yang melibatkan operasi yang saling terintegrasi (highly integrated operation) atau kedua belah pihak memberikan kontribusi unik dan sangat bernilai (misalnya kontribusi unique/valuable intangible property) sehingga tidak dapat dilakukan pengujian secara terpisah.”

Dengan demikian, ketentuan domestik belum mengatur mengenai penerapan PSM untuk kasus di mana di antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa terdapat shared assumption of economically significant risks/separate assumption of closely related risks terkait dengan transaksi afiliasi yang diuji.

3.2.            Relevant Profit

Pada umumnya, laba yang relevan untuk dibagi berdasarkan PSM adalah laba operasi. Namun, tergantung pada delineasi transaksi yang akurat, dimungkinkan juga untuk membagi ukuran laba yang berbeda seperti laba kotor/revenue, baru kemudian mengurangi biaya yang terkait (atau dikeluarkan oleh) masing-masing perusahaan.

Apabila menurut delineasi yang akurat, para pihak tidak hanya berbagi asumsi risiko pasar (yang memengaruhi volume penjualan dan harga) tetapi juga risiko yang terkait dengan memproduksi atau memperoleh barang dan jasa (yang memengaruhi tingkat laba kotor) akan lebih tepat untuk menggunakan laba kotor sebagai relevant profit yang akan dibagi.

Dalam skenario seperti itu, para pihak mungkin memiliki fungsi dan aset yang terintegrasi atau dipakai bersama terkait produksi/perolehan barang dan jasa. Jika para pihak berbagi asumsi risiko pasar, risiko produksi, dan serangkaian risiko lebih lanjut yang memengaruhi tingkat biaya operasi yang mungkin mencakup investasi dalam intangible, akan lebih tepat untuk menggunakan laba operasi sebagai relevant profit yang akan dibagi. Dalam skenario ini, fungsi yang terintegrasi atau aset bersama adalah terkait dengan seluruh rantai nilai.

Dalam hal masing-masing pihak dalam transaksi memberikan kontribusi yang unik dan berharga, tetapi salah satu pihak tidak berbagi dalam asumsi risiko signifikan secara ekonomi yang mungkin terjadi setelah transaksi, maka profit split berdasarkan laba diantisipasi dapat lebih tepat untuk diterapkan.[20]

3.3.            Contribution Analysis

Dalam contribution analysis, laba yang relevan (total laba dari transaksi afiliasi) dibagi antara perusahaan afiliasi berdasarkan pembagian yang masuk akal (reasonable approximation of division) yang akan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan independen yang terlibat dalam transaksi yang sebanding.[21] Pembagian tersebut biasanya dilakukan berdasarkan nilai relatif dari fungsi yang dilakukan oleh pihak-pihak afiliasi. Dalam hal ini, UN Manual dan OECD TPG menyarankan bahwa external market data should complement/support the analysis to the extent possible. Apabila tidak terdapat data pembanding eksternal, menghitung nilai relatif berdasarkan informasi internal dalam MNE itu sendiri, misalnya aset (balance sheet), biaya (income statement), atau informasi dalam akuntansi biaya seperti employee costs atau time spent on transaction.[22]

Baik OECD TPG maupun UN Manual tidak memberikan contoh aplikasi contribution analysis. Contoh aplikasi contribution analysis dapat ditemukan dalam dalam aturan domestik Indonesia, PER-22/2013. Dalam Contoh 5 yang terdapat di lampiran PER-22/2013, diilustrasikan sebagai berikut:

STU Corp. berkedudukan di negara A, memiliki 98% saham di PT STU. Pada tahun 2010, PT STU membeli semi-finished goods dari STU Corp. untuk diproses menjadi finished goods. Berdasarkan data yang ada, diketahui bahwa STU Corp. dan PT STU adalah saling terkait sangat erat dalam operasional perusahaan (highly integrated operation).

PT STU menjual produk jadi untuk pasar Indonesia. Berdasarkan analisis fungsi diketahui, bahwa PT STU melakukan fungsi-fungsi yang cukup signifikan untuk mendapat remunerasi yang tepat. Laporan keuangan yang diperoleh selama pemeriksaan adalah sebagai berikut:

Untuk Tahun Pajak 2010, PT STU sedang dilakukan pemeriksaan oleh KPP BPC. Setelah dilakukan pencarian pembanding pada database komersial, diketahui bahwa tidak ditemukan perusahaan pembanding. Untuk menerapkan Contribution Profit Split Method, digunakan analisis fungsi sebagai media untuk memberi bobot pada fungsi-fungsi yang dilakukan kedua belah pihak afiliasi yang saling bertransaksi. Berikut adalah hasil pembobotan yang dilakukan terhadap fungsi kedua belah pihak afiliasi yang saling bertransaksi (berdasarkan data dan Analisis fungsi kedua belah pihak).

Koreksi positif atas net operating income diatribusikan kepada transaksi afiliasi yang terjadi yaitu transaksi pembelian sehingga penyesuaian positif atas pembelian PT STU = USD 100,000.00 -USD 5,920.00 = USD 94,080.00.

3.4.            Residual Analysis

Residual analysis membagi laba relevan dalam dua tahap:

  1. Langkah pertama adalah menghitung remunerasi atas fungsi rutin, yang dapat diatribusikan pada kontribusi yang dapat diperbandingkan secara andal (kontribusi yang less complex). Biasanya remunerasi awal ini ditentukan dengan menerapkan salah satu metode tradisional (Cost Plus atau Resale Price) atau metode TNMM untuk mengidentifikasi remunerasi transaksi yang sebanding antara perusahaan independen. Laba yang dibagi pada langkah pertama tidak memperhitungkan remunerasi yang akan dihasilkan dari kontribusi yang unique and valuable, atau yang terkait dengan tingkat integrasi yang tinggi atau asumsi bersama risiko yang signifikan secara ekonomi oleh kedua belah pihak.
  2. Laba (atau kerugian) yang tersisa setelah langkah pertama dibagi berdasarkan nilai relatif dari kontribusi yang unique and valuable, atau yang terkait dengan tingkat integrasi yang tinggi atau asumsi bersama risiko yang signifikan secara ekonomi oleh kedua belah pihak.

3.5.            Faktor Pembagi (Splitting Factor)

Faktor untuk membagi laba dalam PSM umumnya harus memenuhi kriteria-kriteria berikut:

  • Konsisten dengan analisis fungsional dari transaksi afiliasi yang ditinjau, dan khususnya mencerminkan asumsi risiko signifikan secara ekonomi oleh para pihak,
  • Dapat diukur secara andal.
  • Independen dari formulasi kebijakan penetapan harga transfer, misalnya harus didasarkan pada data objektif (contohnya penjualan ke pihak independen), bukan pada data yang berkaitan dengan remunerasi transaksi afiliasi (contohnya penjualan ke perusahaan terkait),
  • Dapat diverifikasi, dan
  • Didukung oleh comparable, data internal, atau keduanya.[23]

Splitting factor dapat berupa angka mutlak (misalnya 30% – 70%, atau 50%-50%) atau berdasarkan variabel tertentu (kontribusi marketing kedua belah pihak, yang dapat berubah-ubah tiap tahunnya), atau pembobotan dari berbagai faktor.

Pada umumya basis splitting factor dapat berdasar atas aset/modal atau atas biaya. Contoh splitting factor berbasis aset/modal adalah:

  • Aset operasional,
  • Aset tetap (aset produksi/mesin, aset retail, IT),
  • Aset tidak berwujud (intangibles, meskipun perlu diingat bahwa nilai intangible belum tentu diungkapkan dalam laporan keuangan)

Contoh splitting factor berbasis biaya adalah:

  • Capital expenditure
  • Beban atau investasi pada aktivitas R&D
  • Beban engineering
  • Biaya marketing

Di luar itu, splitting factor berdasarkan kenaikan penjualan (incremental sales), kompensasi pegawai kunci (misalnya pada lembaga keuangan), jumlah pegawai, waktu yang dihabiskan oleh pegawai kunci pada masing-masing pihak afiliasi dengan tanggung jawab yang sama terkait transaksi afiliasi, atau faktor lain yang memiliki korelasi yang kuat dan konsisten dengan relevant profit juga dapat dipakai tergantung fakta dan situasi.

  1. Simpulan dan Saran

4.1.            Simpulan

Penggunaan Profit Split Method dalam penetapan harga transfer dapat memberikan kepastian dan kelancaran dalam penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha bagi pihak afiliasi yang memiliki kondisi usaha yang sangat terintegrasi, atau di mana kedua belah pihak memberikan kontribusi yang unik dan berharga. Dalam perkembangannya, PSM juga dipertimbangkan sebagai metode yang paling sesuai untuk digunakan dalam kondisi di mana para pihak yang bertransaksi saling berbagi asumsi risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi atau secara terpisah menanggung risiko bisnis yang saling berkaitan.

PSM memiliki kelebihan karena menawarkan hasil pengukuran yang “fair” karena semua pihak diuji dan “reasonable” karena mempertimbangkan seluruh fakta dan keadaan yang khusus dan unik dari pihak-pihak yang terafiliasi. Namun demikian tidak dipungkiri bahwa PSM memiliki sejumlah kekurangan yang terpusat pada kesulitan untuk membagi laba yang disebabkan berbagai faktor. Berikut ini kelebihan dan kekurangan PSM:

  1. Kelebihan[24]
  • Cocok untuk operasi yang sangat terintegrasi, atau di mana kedua belah pihak dalam transaksi memberikan kontribusi yang unik dan berharga dimana metode satu sisi mungkin tidak sesuai;
  • Cocok dalam kasus-kasus di mana metode tradisional terbukti tidak dapat diterapkan secara andal karena kurangnya transaksi yang sebanding;
  • PSM menghindari hasil ekstrem untuk salah satu pihak afiliasi yang terlibat karena semua pihak yang terkait dengan transaksi secara langsung dievaluasi sebagai bagian dari penetapan harga transaksi;
  • PSM menawarkan fleksibilitas dengan mempertimbangkan fakta dan keadaan yang khusus dan unik dari perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam satu grup usaha/afiliasi, yang mungkin tidak ada di perusahaan independen. PSM mampu untuk menangani atribusi return terkait group synergy, synergy yang timbul dari aset tidak berwujud atau keuntungan yang timbul dari skala ekonomi (economics of scale).
  1. Kekurangan[25]
  • Kelemahan teoritis dari langkah kedua pada residual analysis. Khususnya, kurang jelasnya dasar teoretis untuk asumsi bahwa nilai dari sinergi antarpihak afiliasi dapat dibagi pro rata dengan nilai relatif dari input para pihak afiliasi (walaupun pendekatan ini bisa dibilang konsisten dengan cara pembagian antara anggota joint venture.)
  • Ketergantungannya pada akses informasi yang mungkin sulit diperoleh, misalnya pada data dari pihak afiliasi di luar negeri. Perusahaan dan administrasi pajak mungkin mengalami kesulitan memperoleh informasi dari perusahaan afiliasi asing;
  • Masalah pengukuran terkait akuntansi. Sulit untuk menghitung pendapatan gabungan dan biaya untuk semua perusahaan terkait yang mengambil bagian dalam transaksi afiliasi karena, misalnya, perbedaan perlakuan dalam praktik akuntansi. Terdapat kemungkinan perbedaan timing (ada biaya yang dikapitalisasi selama beberapa tahun, ada yang dibebankan dalam satu tahun). Terdapat kesulitan untuk mengalokasikan biaya dan beban-beban operasional antara transaksi afiliasi dan aktivitas lainnya yang tidak terkait transaksi afiliasi dari perusahaan.
  • Kesulitan dalam menentukan profit splitting factor.
  • Kemungkinan tidak adanya korelasi antara development costs dengan fair value dari intangible yang dihasilkan (aktivitas R&D yang memakan biaya tinggi dapat menghasilkan produk gagal, begitu juga sebaliknya).
  • Before-tax operating profit kurang tepat dipakai sebagai relevant profit terkait unique and valuable contribution (misalnya karena nilai aset itu sendiri dipengaruhi oleh depresiasi dan amortisasi). After-tax cash flow lebih tepat secara ex-ante karena merefleksikan bagaimana pihak independen akan mempertimbangkan keputusan atas suatu investasi.

Terlepas dari berbagai kekurangan PSM, peraturan domestik terkait PSM yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi Antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-22/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa tetap perlu untuk disempurnakan sehingga mengakomodasi perkembangan terbaru terkait PSM yaitu bahwa PSM dapat diterapkan dalam kondisi di mana para pihak yang bertransaksi saling berbagi asumsi risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi atau secara terpisah menanggung risiko bisnis yang saling berkaitan. Selain juga perlu penyempurnaan untuk memberikan panduan terkait relevant profit yang digunakan di dalam kedua peraturan tersebut.

4.2.            Saran

Penyempunraan peraturan TP untuk profit split, antara lain dengan:

  1. menambah pasal tentang penggunaan PSM dalam kasus di mana para pihak yang bertransaksi saling berbagi asumsi risiko bisnis yang signifikan secara ekonomi (share the assumption of economically significant risks) atau secara terpisah menanggung risiko bisnis yang saling berkaitan (separately assume closely related risks) karena aturan yang ada saat ini hanya mengakomodasi aspek fungsi dan asset, tetapi belum mengakomodasi aspek risiko, dalam hal ini asumsi risiko bisnis yang signifikan dan saling berkaitan.
  2. menambah pasal yang memberikan panduan terkait penggunaan relevant profit yang paling sesuai.

[1] Roger Gordon & Jeffrey Mackie-Mason, Why is there Corporate Taxation in a Small Open Economy? The Rule of Transfer Pricing and Income Shifting (National Bureau of Economic Research Working Paper No. 4690, 1994).

[2] U.S. General Accounting Office, International Taxation: Problems Persist in Determining Tax Effects of Intercompany Prices 62-63 (1992)

[3] Article 9 (1) OECD Model Tax Convention

[4] Reuven S. Avi-Yonah (2007), “The Rise and Fall of Arm’s Length: A Study in the Evolution of U.S.International Taxation”. Law & Economics Working Papers Archive: 2003-2009, pp. 8

[5] Bret Wells dan Cym Lowell (2014) “Tax Base Erosion: Reformation of Section 482’s Arm’s Length Standard”. Florida Tax Review no. 10, Vol. 15, 2014, pp. 750-751

[6] Ibid, pp. 760-761

[7] Josh White (2009) “The OECD searches for new profit allocation rules”, https://www.internationaltaxreview.com/article/b1h0491xz0yzx7/the-oecd-searches-for-new-profit-allocation-rules diakses 1 November 2019

[8] Avi-Yonah (2007), pp. 2

[9] Avi-Yonah (2007), pp. 2-3

[10] Pasal 11 ayat (6) PER-32/PJ/2011

[11] Lampiran PER-22/PJ/2013 Bab III Huruf E

[12] Treasury Department & Internal Revenue Service. (1988). “A Study of Intercompany Pricing,” terbit 18 Oktober1988, pp. 99-102.

[13] Ibid., 88

[14] Eli Lilly & Co. v. Commissioner. T.C. 996, 1151-67 (1985)

[15] Contribution profit split membagi laba operasi antarpihak yang memiliki hubungan istimewa dengan cara membandingkan tingkat laba operasi tersebut dengan pembagian laba operasi yang terjadi antarpihak independen dalam transaksi dan aktivitas bisnis yang sebanding. (US Treas. Reg. 1.482-6 (c)(ii)(1)

[16] Pada penjelasan atas Pasal 18 ayat (2) dalam perubahan ketiga UU PPh (UU no. 19 tahun 1994) disebutkan bahwa “Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau peran serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dan indikasi serta data lainnya.”

[17] UN Practical Manual on TP 2017, para. B.3.3.13.1

[18] OECD TPG 2017 paragraf 6.50-6.58 dan 6.133

[19] OECD TPG 2017 paragraf 1.95

[20] Revised Guidelines on Profit Split, para. 2.160, 2.162-2.165

[21] Ibid, para. 2.150

[22] Ibid, paras. 2.174-2.178

[23] Revised Guidelines on Profit Split paras. 2.147, 2.166

[24] UN Manual para. B.3.3.16.1., Revised Guidelines on Profit Split paras. 2.119-2.122

[25] UN Manual para. B.3.3.16.2, Revised Guidelines on Profit Split para. 2.123, 2.171, 2.182, Elizabeth King (2009), “Transfer Pricing and Corporate Taxation: Problems, Practical Implications and Proposed Solutions”. New York: Springer. pp. 30-31

References

B. Wells, C. Lowell. 2014. Tax Base Erosion: Reformation of Section 482’s Arm’s Length Standard (Florida Tax Review). 10(15): 750-751, 760-761.

Eli Lilly & Co. v. Commissioner. T.C. 1985. Eli Lilly & Co. v. Commissioner. T.C. 996, 1151-1167.

J. White. 2009. The OECD searches for new profit allocation rules [Internet]. [diakses 1 November 2019]. Tersedia pada: https://www.internationaltaxreview.com/article/b1h0491xz0yzx7/the-oecd-searches-for-new-profit-allocation-rules.

K. Elizabeth. 2009. Transfer Pricing and Corporate Taxation: Problems, Practical Implications and Proposed Solutions. New York: Springer.

OECD. 2017. Model Tax Convention on Income and on Capital. Paris: OECD.

OECD. 2018. Revised Guidelines on Profit Split. Paris: OECD.

R. Gordon, J. Mackie-Mason. 1994. Why is there Corporate Taxation in a Small Open Economy? The Rule of Transfer Pricing and Income Shifting (National Bureau of Economic Research Working Paper. 4690:5.

Republik Indonesia. 2006. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. 2011. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-32/PJ/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi Antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa. Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak.

Republik Indonesia. 2013. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-22/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa. Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak.

S. Reuven, Avi-Yonah. 2007. The Rise and Fall of Arm’s Length: A Study in the Evolution of U.S.International Taxation (Law & Economics Working Papers Archive). 2003-2009: 2-3, 8.

Treasury Department & Internal Revenue Service. 1988. A Study of Intercompany Pricing. 88, 99-102.

U.S. General Accounting Office. 1992. International Taxation: Problems Persist in Determining Tax Effects of Intercompany Prices. 62-63.

United Nations. 2017. UN Practical Manual on TP 2017. New York: UN.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

 

Entry filed under: Pajak. Tags: , , , , , , .

Dari Mana Asal Angka Target Pajak?

Leave a comment

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Voting

Salam hebat!



Assalamu’alaikum Wrwb. Selamat datang di blog saya, terima kasih sudah menyempatkan untuk mampir =D Blog ini sudah bermetamorfosis… setelah lama tak dibuka. Sedikit saja catatan lama, yang ternyata saya sudah banyak lupa,,, tidak pernah ingat bahwa saya pernah melakukannya. Saat saya baca ulang, ada tanya? Apa iya saya pernah melakukannya? Pasti iya, karena tidak mungkin orang lain yang menulisnya. Ini sedikit catatan tentang saya, untuk dibaca agar tidak lupa… Barangkali berguna bagi para pembacanya. :) Semoga… Oh ya... Saya menulis karena saya merasa tidak memiliki kemampuan verbal yang baik. Saya menulis karena tulisan bisa diedit... bisa dihapus... dan... bisa mengingatkan jika lupa. Ayo kita tulis saja, apa - apa yang berguna... Wassalamu’alaikum wrb. :fofo

Statistik Blog ini...

  • 36,835 hits

Sponsor…